Plastisitas Neuron

Plastisitas adalah kemampuan atau kapasitas dari sistem saraf pusat untuk beradaptasi terhadap kebutuhan fungsional. Pada sebuah penelitian terhadap otak dinyatakan bahwa  otak yang mengalami kerusakan dapat terjadi recovery (pemulihan) jika otak tersebut diberikan stimulasi.

Sampai saat ini pemahaman terhadap struktur dan fungsi otak masih banyak yang berdasarkan pada model hierarki, dimana tiap-tiap bagian otak memiliki struktur tertentu dan memiliki fungsi tertentu pula (Held in Cohen, 1993). Pemahaman terhadap model ini tidaklah salah, tetapi dapat menyebabkan pemahaman terhadap struktur dan fungsi otak menjadi kaku. Seperti adanya pendapat bahwa kerusakan pada otak tidak akan pernah sembuh kembali, sehingga bagian otak yang rusak tersebut akan kehilangan fungsinya secara permanen.

Seharusnya dipahami juga bahwa struktur dan fungsi otak adalah fleksibel terkait dengan berbagai sistem tubuh dan lingkungan. Adalah benar sel-sel otak yang mengalami kematian tidak bisa sembuh kembali, tetapi masih ada kemungkinan ruang dan waktu bahwa fungsi otak yang hilang akibat kerusakan tersebut diambil alih oleh bagian otak yang lain dengan cara atau mekanisme plastisitas yang sampai sekarang masih menjadi misteri, walaupun sedikit demi sedikit mulai terkuak (Carr & Shepherd, 1987).

Salah satu asas dasar dalam konsep mengenai bagaimana neuroplastisitas bekerja berkaitan dengan konsep pemangkasan sinapsis, atau gagasan yang mengungkapkan bahwa koneksi-koneksi dalam otak secara konstan dihilangkan atau dibuat kembali, dan ini tergantung kepada bagaimana sinapsis tersebut digunakan. Jika ada dua neuron terdekat yang menghasilkan impuls secara serentak, peta kortikal mereka mungkin akan menjadi satu. Gagasan ini juga bekerja sebaliknya, misalnya neuron yang tidak menghasilkan impuls serentak secara reguler akan membentuk peta yang berbeda.

Peta kortikal
Pengaturan kortikal, terutama Sistem sensoris (halaman belum tersedia) seringkali dideskripsikan dalam ranah pemetaan. Misalnya, informasi sensoris dari proyek kaki ke satu situs kortikal dan proyeksi dari target tangan di situs lain. Sebagai akibat dari pengaturan somatotopik input sensoris tersebut terhadap korteks, perwakilan kortikal tubuh menyerupai peta (atau homunculus.

Pada akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an, beberapa kelompok mulai meneliti dampak menghilangkan sebagian input sensoris. Michael Merzenich, Jon Kaas dan Doug Rasmusson menggunakan peta kortikal sebagai Variabel_depende. Mereka menemukan bahwa jika input dihilangkan dari peta kortikal, peta tersebut kemudian akan teraktivasi sebagai tanggapan kepada yang lain. Paling tidak dalam sistem sensoris somatik, JT Wall dan J Xu telah menemukan mekanisme yang mendasari plastisitas. Reorganisasi tidak emergen secara kortikal, tetapi muncul dalam setiap tingkatan dalam hierarki pemrosesan; akibatnya muncul perubahan peta dalam korteks serebral.(Wall, 2002)

Merzenich dan William Jenkins (1990) memulai penelitian yang berkaitan dengan pengalaman sensoris sampai plastisitas kortikal dalam sistem somatosensori primata. Mereka menemukan bahwa situs sensoris yang teraktivasi dalam perilaku operan meningkatkan perwakilan kortikal mereka. Segera setelahnya, Ford Ebner dan koleganya (1994) melakukan penelitian yang mirip dalamkorteks barel (juga sistem somatosensori) hewan pengerat. Penelitian hewan pengerat kemudian difokuskan oleh Ebner, Matthew Diamond, Michael Armstrong-James, Robert Sachdev, Kevin Fox, sehingga pencapaian dalam mengidentifikasi tempat perubahan di reseptor NMDA ekspresi sinapsis kortikal, dan dalam menunjukkan pentingnya input kolonergik dalam ekspresi normal, telah tercapai. Namun, penelitian terhadap hewan pengerat tidak banyak berfokus kepada perilaku, dan Ron Frostig dan Daniel Polley (1999, 2004) menunjukkan bahwa manipulasi perilaku dapat memberikan dampak yang besar terhadap plastisitas kortikal dalam sistem tersebut.

Merzenich dan DT Blake (2002, 2005, 2006) menggunakan penanaman kortikal untuk mempelajari evolusi plastisitas dalam sistem somatosensori dan pendengaran. Kedua sistem tersebut menunjukkan perubahan yang mirip perihal perilaku. Saat suatu stimulus secara kognitif berkaitan dengan pemerkuatan, representasi kortikalnya diperkuat dan diperbesar. Dalam beberapa kasus, representasi kortikal dapat meningkat dua hingga tiga kali lipat dalam waktu 1-2 hari pada saat perilaku motor sensoris yang baru diterima, dan perubahan telah usai dalam waktu beberapa minggu.

Kapasitas dari system saraf pusat untuk beradaptasi dan memodifikasi organisasi struktural dan fungsional terhadap kebutuhan, yang bisa berlangsung terus sesuai kebutuhan dan atau stimulasi. Mekanisme plastisitas ini merupakan mekanisme kompleks yang melibatkan perubahan kimia saraf, kelistrikan saraf, penerimaan saraf, perubahan struktur neuron saraf, reorganisasi otak, dll.

Mekanisme plastisitas tidak hanya terjadi pada kerusakan otak seperti stroke ataupun trauma kepala, tapi juga terjadi pada degenerasi otak seperti demensia, alzheimer, dll.

Untuk memberikan gambaran tentang plastisitas, maka perlu membandingkan antara sifat plastisitas dan elastisitas. Suatu benda dengan bentuk awal segi empat jika diberi intervensi atau dimanipulasi untuk membentuk segi tiga, maka pada saat proses dilakukan benda berbentuk segi tiga akan tetapi pada akhirnya benda tersebut akan kembali pada bentuk awalnya, hal ini disebut sebagai kemampuan elestisitas.

Jika bentuk awal suatu benda berbentuk segi empat kemudian diberikan intervensi untuk membentuk segi tiga, maka pada saat proses dilakukan benda akan membentuk segi tiga dan juga menjadi bentuk akhir dari benda tersebut, hal ini disebut sebagai kemampuan plastisitas.

Dengan demikian jelas bahwa sifat elastisitas berbeda dengan sifat plastisitas. Sifat elastik artinya kemampuan suatu benda untuk dapat kembali pada bentuk asalnya, sedangkan sifat plastisitas menunjukkan kemampuan benda untuk berubah kedalam bentuk yang lain.

Nilai positif dari adanya sifat plastisitas adalah pada pasien stroke menjadi potensi untuk dapat dikembangkan dan dibentuk sehingga dapat menghasilkan gerak yang fungsional dan normal. Nilai negatif dari adanya sifat plastisitas adalah jika metode yang diberikan tidak tepat, maka akan terbentuk pola yang tidak tepat pula.

Kerusakan Otak Akibat Stroke
Pada keadaan pasca stroke kerusakan otak dapat digolongkan sebagai berikut:

  1. Kerusakan dari sel otak yang aktual akibat dari lesinya atau disebut area umbra, zona nekrotik, zona infark.
  2. Gangguan fisiologis sekunder dari sel saraf lain di sekitar atau yang terkait dengan sel otak yang rusak. Disebut area penumbra, zona inhibisi atau diaschisis. Diaschisis ini dapat diakibatkan oleh neural shock, odema, terputusnya aliran darah, atau denervasi sebagian neuron pasca sinapsis pada otak.

Ada juga yang membagi area penumbra ini menjadi dua, yaitu zona degenerasi dan zona odema. Proporsi luas zona umbra dan penumbra bisa sangat bervariasi tergantung tipe lesi pada otak. Kejadian mendadak, terlokalisir (misal stroke) proporsi hampir sama antara keduanya, tetapi pada kejadian yang lambat (misal tumor) mungkin hanya ada area umbra tanpa ada penumbra. Sedangkan suatu trauma (misal traumatic brain injury) mungkin mengakibatkan area penumbra lebih dominan (Held in Cohen, 1993).

  • Area necrotic (bersifat irreversibel/permanen ) disebut area umbra
  • Area degenerasi (bersifat riversibel) disebut area penumbra
  • Area oedematosa (bersifat riversibel )

Kategori Recovery Saraf Pusat

1. Diaschisis/ Neural Shock / Spinal Shock : Jika satu bagian otak mengalami lesi, maka tempat-tempat sekitar lesi mengalami gangguan fungsi. Sebenarnya pemulihan terjadi pada tempat-tempat yang tidak mengalami lesi. Sifat kelumpuhan pada fase ini adalah flaccid.

2.Denervation Supersentivity: bila pada salah satu serabut saraf rusak, maka serabut saraf yang masih baik akan mengambil alih fungsi serabut saraf yang rusak.

Denervation Supersentivity

3.Silent synapsis Recruitment: bila synapsis utama rusak, maka synapsis yang tersembunyi fungsinya akan dioptimalkan.

Silent synapsis Recruitment

4. Axonal Regeneration: ada dua synapsis, jika salah satu mengalami lesi, maka akan melakukan regenerasi ke synapsis yang masih baik serta mengalihkan fungsinya ke synapsis yang ditumpangi.

Axonal Regeneration

5. Collateral Sprouting: jika salah satu synapsis rusak maka fungsinya diambil alih oleh synapsis yang masih baik.

Collateral Sprouting